DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) DAERAH YANG ISTIMEWA (DYI)
(Membangun Bangsa dari Sejarah Keistimewaan Pendidikan Yogyakarta)

Oleh : Musliichah

Membangun bangsa dimulai dari membangun diri. Membangun diri diawali dengan membangun karakter. Karakter yang kuat dilandasi dengan kesadaran jati diri yang kuat pula. Membangun kembali karakter bukan hanya sekedar bisa tetapi juga berarti berani.”

Nasib reformasi
Sepuluh tahun lebih bangsa ini telah mengawal reformasi, dengan harapan menuju kehidupan kebangsaan yang lebih baik dan tentu saja bermartabat. Sejarah tidak bisa memungkiri bahwa peran para intelektual muda para penghuni kampus dalam menggulirkan reformasi sangat besar. Para mahasiswa pada masa itulah yang gigih berjuang melahirkan reformasi dan juga terus mengawal jalannya reformasi. Semua itu dilakukan oleh para mahasiswa, meski tidak menghilangkan peran pihak di luar mahasiswa.
Apa yang terjadi saat ini? Buah apa yang kita petik dari tumbuhnya reformasi di negeri tercinta ini? Beragam jawaban dan bahkan lebih menjurus pada keluhan bahwa nyaris tak ada perubahan hakiki dalam kehidupan kebangsaan kita dari sebelum reformasi, meski ini sangat subyektif sekali. Bahkan orang-orang desa mengatakan bahwa “jamane luwih makmur mbiyen, sakdurunge mahasiswa podo demo”. Inilah “rerasan” yang muncul dimasyarakat. Siapa yang salah? Mahasiswa atau siapa? Kita tidak bisa memvonis seseorang tanpa mengurai permasalahannya.
Kalau kita runut reformasi telah digulirkan kurang lebih 12 tahun yang lalu. Para mahasiswa yang saat itu berjuang melahirkan dan mengawal reformasi tentu saat ini sudah bukan mahasiwa lagi. Jika beruntung mereka mungkin telah menjadi para pejabat, birokrat, teknokrat, pengusaha, dan profesi atau jabatan lainnya. Merekalah yang saat ini menjadi bahan bakar dan penggerak roda kehidupan kebangsaan kita. Artinya merekalah yang mewarnai corak dan ragam kehidupan kebangsaan kita. Carut marut, hancur lebur, dan hitam legam Indonesia adalah hasil dari sumbangsih karya yang mereka lakukan saat ini.
Pertanyaannya, apakah mereka para penggagas dan pengawal reformasi itu masihkah menjadi pejuang reformasi, atau jangan-jangan beralih profesi menjadi pecundang reformasi? Banyak orang mengatakan bahwa orang berani vokal apabila berada diluar sistem, tapi begitu dia masuk dalam sistem apalagi kalau mendapat kursi empuk tidak mustahil dia berubah menjadi macan ompong, atau bahkan menjadi anjing penjilat. Sungguh menakjubkan. Jangan-jangan para mantan mahasiswa yang dulu “gembar-gembor” meneriakkan reformasi, berantas KKN, justru sekarang menjadi pelaku KKN dan anti reformasi. Inilah petaka negeri yang sungguh memilukan.
Jika ini terjadi siapa yang harus disalahkan? Para mantan mahasiswa yang durhaka itu kah, atau orang yang melahirkan mahasiswa durhaka itu, atau keadaan? Yang jelas semua bukan karena salah bunda mengandung. Semua faktor bisa saling mempengaruhi, diri pribadi mahasiswa, lingkungan, latar belakang keluarga, dan juga kampus/perguruan tinggi mencetak atau melahirkan mereka.
Sebuah kesalahan besar apabila perguruan tinggi hanya berorientasi pada mencetak para lulusannya dengan IPK tinggi, masa studi singkat, dan sederet barometer lainnya yang lebih bersifat kuantitatif. Sadarkah mereka bahwa yang dicetak adalah manusia yang memiliki akal budi, bukan robot yang cukup dihitung secara matematik.

Membangun bangsa diawali dengan membangun karakter
Membangun bangsa dimulai dari membangun diri. Membangun diri diawali dengan membangun karakter. Karakter yang kuat dilandasi dengan kesadaran jati diri yang kuat pula. Untuk itu usaha menemukan kembali dan membangun jati diri harus dilakukan. Membangun karakter adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga “berbentuk” unik, menarik, dan berbeda, atau dapat dibedakan dengan orang lain. Disiplin diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan membentuk kareakter seseorang, organisasi, dan sebuah masyarakat. Proses membangun karakter merupakan sebuah proses perjuangan panjang – trial and suffering- dan ketekunan.

membangun bangsa dengan karakter diri

membangun karakter diri

Pada dasarnya pembentukan karakter adalah tugas utama pendidikan. Pendidikan hendaknya bukan saja menghasilkan manusia yang bernalar, pandai, memiliki ketrampilan dan bersikap profesional tetapi juga kaya rasa : empati, penghayatan akan sesuatu yang luhur, cinta kasih kepada sesama dan alam semesta.
Membangun kembali karakter bukan hanya sekedar bisa tetapi juga berarti berani. Artinya kita harus berani. Berani karena kita memahami masa lalu kita, mengakui kesalahan yang pernah ada dan terjadi, serta mau belajar dari kesalahan (sejarah). Sejarah masa lalu bukanlah sesuatu yang berlalu dan dapat dilupakan begitu saja, tetapi ia tetap berpengaruh. Berpengaruh bukan berarti kita terjebak di dalam kubangan masa lalu sehingga kita tidak bisa keluar (stagnan), hanya meratap dan menyesal tanpa ada usaha untuk belajar dan bangkit dari pengalaman pahit. Dengan demikian seseorang mengalami dan menghayati rekonsiliasi dimensi nalar dan rasa yang ada dalam dirinya.

Membangun karakter dengan belajar sejarah
Membangun kembali karakter bangsa menyiratkan adanya proses untuk memperkuat memori bersama sebagai satu bangsa, mengakui nilai-nilai luhur yang menjadi landasan terbentuknya bangsa ini. Mengakui dan menggali masa lalu adalah langkah penting dalam memperteguh jati diri bangsa. Oleh karena itu mempelajari sejarah sangatlah perlu “jas merah, jangan lupakan sejarah”. Dari sejarah tentu kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah, dengan sejarah kita dapat meneguhkan diri siapa sebenarnya diri kita.

Yogyakarta adalah kota pendidikan, ribuan mahasiswa calon para pejabat, birokrat, teknokrat, dan segudang profesi lainnya yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia dicetak di sini. Sudah seharusnya semua perguruan tinggi konsen dalam pengembangan karakter dan kepribadian para mahasiswa sebagai hasil produknya. Bekali para mahasiswa dengan ilmu dan jiwa yang matang. Banyak ilmu tanpa jiwa dan kepribadian yang bermartabat sungguh amat berbahaya, inilah para calon pengkhianat rakyat dan bangsa. Orang pintar yang tidak berhati nurani lebih berbahaya dibandingkan dengan orang tak berilmu. Kepandaian tanpa moral akan menghasilkan para penjahat kelas kakap.

Menggali sejarah dari “keistimewaan yogyakarta” merupakan salah satu langkah arif sebagai salah satu upaya mencetak mahasiswa atau lulusan perguruan tinggi sebagai orang yang bermartabat dan berkarakter. Marilah kita tengok sejenak betapa kita pernah menjadi sebuah bangsa yang besar, rakyat yang besar, dan orang yang berjiwa besar. Semua dapat kita lihat dari sejarah yang tergores dalam lembaran perjalanan hidup bangsa ini.

Sejarah mencatat bahwa semangat rakyat yogyakarta sangat kental perjuangan nasionalnya. Ini terbukti pada saat Yogyakarta yang secara fisik diduduki Belanda pada waktu aksi militer kedua, tidak ada satupun pegawai yang sudi bekerja dengan Belanda membentuk pemerintahan sipil Belanda dan membentuk negara sebagaimana terjadi di daerah-daerah lain. Sebagai hadiahnya tanggal 19 Desember 1949, satu tahun setelah penyerangan Belanda ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 (agresi militer Belanda) UGM didirikan sebagai perwujudan terima kasih Pemerintah Pusat kepada Rakyat Yogyakarta. Godaan kenikmatan sesaat muncul dengan adanya tawaran pemerintah untuk memboyong UGM ke Jakarta. Bisa dibayangkan saat itu UGM bekerja mencetak para generasi penerus bangsa dengan segala keterbatasan dan “kemiskinan”. Dengan pindah ke Jakarta tentu segala derita keterbatasan dan “kemiskinan” tersebut dapat diatasi. Namun apa yang terjadi ternyata para pimpinan UGM menolak saran agar UGM sebagai universitas nasional dipindah ke Jakarta. Adalah Prof. Sardjito sebagai Presiden UGM, Prof. Notonagoro sebagai Sekretaris Senat, dan Koesnadi Harjdasoemantri sebagai wakil Dewan Mahasiswa, yang menghadap ke Jakarta dan menyuarakan keberatan atas saran dipindahkannya UGM ke Jakarta, padahal UGM ini adalah hadiah Pemerintah kepada Rakyat Yogyakarta. (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006).
Dengan semangat nasional, rakyat Yogyakarta benar-benar mengelola UGM sebagai hadiah dari Pemerintah Pusat atas kegigihannya untuk tidak menjual diri demi kesenangan sesaat untuk pro kompeni. Lahir berbagai konsep dari kampus UGM yang berintikan pengabdian pada masyarakat, seperti konsep Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) yang telah mampu menyediakan tenaga pengajar bagi SLTA di luar Jawa dalam kurun waktu 1951 – 1962. Dari tenaga pengajar PTM sebanyak 1.359 mahasiswa yang dikerahkan untuk menjadi pengajr SLTA di luar jawa dalam kurun waktu 1951 – 1962, sebanyak 1107 mahasiswa adalah mahasiswa UGM. Apabila pada waktu PTM dimulai pada tahun 1951 terdapat kurang lebih 25 SLTA di luar Jawa, maka pada waktu kegiatan PTM selesai pada tahun 1962 telah terdapat 161 SLTA di 97 tempat di luar Jawa. Itu berarti 136 sekolah didirikan oleh kegiatan PTM. Dengan demikian kegiatan PTM ini telah turut memberikan saham yang sangat berharga kepada pemerataan pendidikan menengah di luar Jawa dan secara tidak langsung telah pula turut serta dalam pemerataan pendidikan tinggi di luar Jawa. (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006)

Sesuatu yang dibangun dengan semangat dedikasi dan perjuangan akan melahirkan sesuatu yang benar-benar bermanfaat. Contoh program KKN juga lahir dari Yogyakarta. Ini dapat dirunut dari asal mula lahirnya KKN. UGM termasuk satu dari tiga perguruan tinggi yang melaksanakan proyek perintis untuk KKN pada tahun 1971, disamping UNAND dan UNHAS. KKN ini terinspirasi dari kegiatan PTM dan juga aktifnya mahasiswa dalam Tentara Pelajar yang membuka sekolah darurat di daerah pedalaman bagi anak-anak pegawai yang mengungsi ke luar kota karena tidak bersedia menjadi pegawai Belanda yang dulu disebut sebagai pegawai non-kooperator (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006).
Dari penggalan cerita sejarah diatas menunjukkan bahwa kuatnya karakter dan kepribadian merupakan modal utama untuk menghantarkan kita menjadi sebuah bangsa yang bermartabat. Sakit dan duka nestapa selama berjuang adalah sesuatu yang wajar. Dengan kepribadian dan karakter yang kuat semua sakit dan duka nestapa itu tentu dapat diatasi. Dengan kita kuat dan gigih dalam menjalani perjuangan niscaya kejayaan dan kebahagiaan yang hakiki dapat diraih.

Sejarah pendidikan di Yogyakarta mengajarkan banyak hal kepada kita semua baik dari aspek politik, psikologi, dan aspek lainnya bagaimana menjalani kehidupan berkebangsaan yang bermartabat. Mahasiswa pada masa itu gigih berjuang membangun diri dan juga bangsanya, terbukti pendidikan masa itu mampu melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang sejati. Ayo Yogyakarta, ayo dunia pendidikan Yogyakarta, cetak kembali sejarah emas pendidikan Yogyakarta. Jangan sia-siakan selendang sutera “kota pendidikan” yang terselempang di pundakmu. Bangunlah Indonesia dengan mencetak generasi yang berilmu, bermartabat, dan berkarakter.

sumber gambar: http://kapita-fikom-915080081a.blogspot.com/2011/06/membangun-karakter.html